Kamis, 23 Maret 2017

Kubangan Lumpur "RIBA"

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saya mengambil judul di atas terkait dengan keputusan saya untuk keluar dari dunia perbankan. Pastilah banyak sahabat-sahabat saya yang menghujat ataupun memperbincangkan saya di belakang, namun semua itu tidaklah masalah. Kali ini saya akan banyak bercerita tentang kisah hidup saya bagaimana dari awal saya terjun hingga keluar dari kubangan lumpur riba. Saya lulus sarjana tahun 2012 dengan predikat sarjana pendidikan. Besar harapan orang tua saya untuk dapat melihat saya mengabdi bagi dunia pendidikan, begitu halnya dengan saya. Namun kilau dunia dan kurangnya ketidaksabaran merubah semua pandangan dan pemikiran saya. Dengan penghasilan 400 ribu per bulan, mendorong saya untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Ya, apalagi yang akan dilirik selain dunia perbankan. Kerja bergaji tinggi, memakai kemeja, berdasi, kantor ber-AC dll, itu yang ada dalam angan-angan saya. Dengan dalih dapat menyongsong masa depan yang lebih baik jika bekerja dalam dunia perbankan.
Tahun 2014 saya memastikan diri masuk ke dalam dunia perbankan setelah sebelumnya berwiraswasta namun gagal. Perusahaan pertama yang saya masuki adalah bank swasta berwarna "orange". Awal bekerja betapa terkejutnya, ternyata berangkat jam 7 pagi dan pulang sampai malam, namun semua itu tetap saya jalani. Setahun di bank "orange", saya pindah ke bank yang berlabel bank milik negara dan berlabel SYARIAH. Di perusahaan ini saya belajar banyak hal, mulai tentang kebijakan-kebijakan perbankan, hukum-hukum syariah perbankan dll dan tentunya dengan gaji yang lebih tinggi. Namun di perusahaan ini, saya lebih tercengang. Tekanan, target, politik-politik di dalam kantor, subyektivitas pimpinan sangatlah besar. Dengan besarnya tekanan, target dan politik di kantor, saya melakukan kesalahan. Saya selalu memegang prinsip untuk tidak menjadi seorang penjilat, lalu bagaimana caranya agar saya lolos dari target? Saya menghalalkan segala cara. Ya, saya menghalalkan segala cara agar semua tercapai. Tahun 2016, saya mendapatkan tawaran dari bank "merah" berlabel swasta. Saya segera memutuskan mengambil tawaran tersebut tentunya karena tawaran gaji yang lebih besar. Sebelum pindah ke perusahaan ini, saya di cambuk. Ibu mertua saya harus menjalani opname selama satu bulan di rumah sakit. 3 hari pulang, giliran saya yang harus diopname selama seminggu. Akhirnya saya pindah ke perusahaan yang baru dengan posisi yang saya pikir lebih nyaman dan gaji yang tinggi. Ternyata tidak. Sungguh luar biasa tekanan di perusahaan ini. Saya di hadapkan pada salah satu orang nasabah yang sudah tidak mampu untuk menyelesaikan kredit. Si nasabah memiliki itikad baik untuk menjual aset, namun meminta waktu untuk proses penjualannya. Disinilah kelicikan kami sebagai seorang banker. Sekali saya membohongi si nasabah agar dapat memasukan angsuran. Karena tidak memiliki uang, si nasabah menjual kendaraan motornya. Begitu selanjutnya dilakukan oleh teman-teman saya hingga akhirnya si nasabah kehilangan aset motor, mobil 2 unit dan sebuah truk. Setiap hari harus menghadapi nasabah tersebut membuat hati saya tergores. Dengan kondisi istri sakit parah, tanggungan biaya sekolah dan biaya hidup, dituntut harus menyelesaikan permasalahan kredit di perusahaan saya. Saya merasa ikut merasakan sakitnya, sehingga saya kehilangan keprofesionalan saya dan kembali melakukan kesalahan. Kesalahan-kesalahan saya yang saya maksudkan dari atas adalah, saya menutupi angsuran nasabah-nasabah dengan perjanjian nantinya si nasabah mengembalikan jika sudah memiliki uang. Ternyata tidak semudah itu, banyak nasabah yang tidak mau menepati janjinya untuk mengembalikan uang saya. Hal itu membuat ekonomi keluarga saya berantakan dan membuat saya menghalalkan segala cara untuk menutup lobang-lobang yang telah saya gunakan untuk menutupi angsuran nasabah tersebut. Nominal angsuran nasabah saya tidaklah kecil, di antara 5 juta - 12 juta perbulan/orang. Selain menghalalkan segala cara, sayapun harus mengambil kredit uang ke sana sini dan ada juga yang meminjam ke teman. Hingga pada akhirnya saya sudah merasa muak, saya memutuskan untuk mencari cara untuk keluar. Ya, saya mengambil cara yang ekstrim untuk keluar dari perusahaan tersebut.
Setelah keluar,saya mencoba untuk berwirausaha bersama istri, bahu membahu untuk melunasi hutang-hutang yang ada di luar. Berusaha untuk memperbaiki hubungan saya dengan Tuhan, memperbaiki ibadah dan memperbanyak ilmu tentang agama. Namun ternyata semua itu tidaklah meninggalkan dosa lama saya. Tepatnya kemarin, tanggal 28 Februari 2017, sebuah permata paling berharga saya harus tergores. Ya, putri pertama saya mengalami sakit dengan diagnosa yang sungguh menyayat hati. Disitulah saya benar-benar terbuka hatinya, jika semua ini adalah dosa saya. Putri saya yang tidak tahu menahu tentang perbuatan saya, harus menanggung akibatnya. Di saat seperti ini, saya kembali diuji. Saya mendapatkan tawaran dari seorang teman untuk mengisi sebuah jabatan di bank milik negara, tidak tanggung-tanggung, posisi manager ditawarkan kepada saya. Saya merasa gundah, di satu sisi saya harus memiliki penghasilan tetap untuk menghidupi keluarga saya, namun di sisi lain saya sudah tidak ingin memberikan buliran dosa untuk anak istri saya. Dengan ikhlas, akhirnya saya menolak tawaran tersebut dan kembali berikhtiar dengan jalan yang lain. Perlahan saya berusaha melunasi hutang-hutang saya, entah itu uang dari usaha istri maupun pinjam kepada orang tua. Yang jelas, prioritas utama saya adalah saya harus keluar dari lingkaran riba. Semua aset saya jual, mulai dari motor, alat elektronik dll. Saya prioritaskan hutang di perbankan bukan berarti saya tidak memperdulikan hutang saya kepada teman, tetapi saya berpikiran, paling tidak hutang yang berkaitan dengan teman tidak memiliki kaitan dengan riba dan yang pasti saya wajib mengembalikan. Saya sampaikan kepada sahabat-sahabat saya mengenai kondisi saya, ada beberapa yang dapat memahami, adapula yang bersikukuh agar saya segera melunasi.
Alhamdulillah, entah rejeki dari mana, secara perhitungan matematika sayapun tidak masuk di akal, namun hutang-hutang saya mulai menipis. Saya tidak peduli dengan pandangan orang jika saya tidak memiliki aset dll, yang pasti, saya dan istri sepakat jika kami harus kembali ke titik nol. Ya, kami harus kembali ke titik nol. Kami bersyukur Tuhan benar-benar masih peduli dengan kami, masih berkenan untuk membersihkan darah kami dari uang riba. Saya selalu berusaha berkhusnudzon kepada-Nya, jika ini adalah cara mengangkat kami dari kubangan lumpur riba, mengangkat derajat kami di hadapan-Nya, menghapuskan dosa-dosa kami terdahulu. Saya menyatakan jika saya melepaskan diri dari segala bentuk riba, apapun itu. Kebanggaan sebagai karyawan perbankan, dengan seragam berdasi, gaji tinggi, bonus besar dan insentif selangit, saya tinggalkan. Sungguh sangat berat untuk meninggalkan semua hal tersebut, sangat berat hukuman yang harus kami hadapi, namun kami berkeyakinan, untuk lebih dekat kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya memanglah tidak mudah.
Sekarang saya fokus untuk kembali ke dalam dunia pendidikan dan membantu saudara-saudara yang mengalami permasalahan dengan yang berkaitan dengan pihak perbankan. Namun tentu dengan satu syarat, untuk tidak kembali ke dalam kubangan lumpur riba tersebut. Alhamdulillah, salah satu bekas nasabah saya telah selesai berurusan dengan pihak perbankan. Aset jaminan berupa tanah dan rumah tidak jadi dilelang dan hutangpun selesai. Semoga cerita saya dapat menjadi pelajaran dan pengalaman penting untuk saudara-saudara yang lain. Jika sudah PASTI Alloh akan MENGHANCURKAN RIBA dan menumbuhkan SODAQOH, karena saya sudah merasakan semua hal tersebut dan saya tidak mau menjadi musuh-Nya karena secara tersurat, Dia telah menyatakan perang terhadap pelaku riba.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayat-Ayat Tentang Riba

Assalamu'alaikum.. Alladzina yaa kuluunarribaa laa yaquumuuna illaa kamaa yaquumulladzii yatakhobbathuhusyayaithoonu minalmassi, dzaal...